POISON

Masyarakat sering tidak sadar kalau di sekitarnya sebenarnya relatif banyak bertebaran limbah bahan berbahaya beracun (B3) yang mengancam kesehatan dan merusak lingkungan. Limbah B3 yang berada di sekitar permukiman tidak hanya dihasilkan oleh industri kecil, menengah, dan besar saja, tetapi juga oleh sampah rumah tangga yang dihasilkan setiap hari.

Temuan Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan lahan terkontaminasi limbah mengandung timbal merkuri, aluminium, zinc kegiatan peleburan logam (aki bekas, kaleng bekas, scrap terkontaminasi) ilegal di permukiman dan banyak terdapat anak-anak. Dampak kesehaan dalam jangka panjang masyarakat yang terkontaminasi limbah B3 bisa sangat berbahaya karena bisa menyebabkan generasi yang tidak sehat.

“Oleh sebab itu, hendaknya kita tak boleh main-main dan harus serius mengelola limbah B3 karena dampaknya sangat luas tak hanya bagi kerusakan lingkungan tapi juga kesehatan masyarakat,” kata Direktur Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non-B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Laksmi Dhewanthi dalam Sosialisasi Pengelolaan Limbah B3.

Bahaya besar saat masyarakat terkena limbah B3, kata Laksmi, antara lain gangguan sistem saraf, kecerdasan rendah, dan keterbelakangan mental, serta gangguan pencernaan dengan frekuensi tinggi yang menyebabkan asma dan kanker paru. Selain itu, gangguan saraf penglihatan dan kelumpuhan, kerusakan ginjal dan jantung, iritasi mata, kerusakan hidung dan tenggorokan. Jika dalam jumlah besar, bisa mengalami kerusakan testis, saluran pencernaan, ginjal, hati, serta otak, hingga cacat fisik.

Pemerintah, kata Laksmi, sudah menyiapkan sejumlah perangkat hukum dan kebijakan terkait dengan pengelolaan sampah limbah B3. Seperti mengeluarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun.

Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse, Recycle melalui Bank Sampah. “Adanya perangkat hukum yang telah dikeluarkan tersebut untuk menunjukkan pemerintah sangat serius memperhatikan pengelolaan limbah sampah dan B3,” katanya.

Euis Ekawati, Kasubdit Prasarana dan Jasa, Direktorat Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B3, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan lokasi penyimpanan limbah B3 tidak bisa sembarangan dan harus dikelola dengan baik, seperti harus disimpan di wilayah bebas banjir dan tidak rawan bencana. Kalau tidak, dapat direkayasa dengan teknologi untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hdiup apabila tidak bebas banjir dan rawan bencana alam Euis.

Satu hal lain yang perlu diperhatikan, kata dia, adalah lokasi penyimpanan limbah B3 harus berada di dalam penguasaan setiap orang yang menghasilkan limbah B3. Lokasi penyimpanan pengemasan limbah B3 juga harus mendapat perhatian serius dan ada syarat-syarat khusus. Seperti menggunakan kemasan dari bahan yang dapat mengemas limbah B3 sesuai dengan karakteristik limbah B3 yang disimpan, mampu mengungkung limbah untuk tetap berada dalam kemasan.

Di samping itu, memiliki penutup yang kuat untuk mencegah terjadinya tumpahan saat dilakukan penyimpanan, pemindahan, atau pengangkutan. “Kemasan limbah B3 wajib dilekati label limbah B3 dan simbul limbah B3,” katanya.

Direktur Jenderal Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya Beracun (B3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tuti Hendrawati Mintarsih menyebutkan sekitar 193 juta ton limbah bahan berbahaya beracun yang dihasilkan sebanyak 2.000 industri periode 2014–2015 telah dikelola dengan baik sehingga mengurangi kerusakan lingkungan hidup yang makin parah serta menjaga kualitas hidup. “Industri memang memiliki kewajiban untuk bisa mengelola limbah dengan baik agar tak mencemari lingkungan sekitar. Untuk itu, sudah dibuat sejumlah peraturan,” katanya.

Ia mengatakan pengendalian limbah B3 selama ini memang sudah menjadi kewajiban bagi industri karena apabila tak diatur, limbah tersebut tidak akan dikelola dengan baik yang pada akhirnya merusak lingkungan dan kesehatan. Menurut dia, folosofi pengelolaan limbah B3 ke depan diarahkan untuk bisa memberikan nilai tambah yang memberikan kontribusi terhadap pembangunan, menjadi bahan baku produk yang berguna serta menjadi energi alternatif.

Teknologi pengelola limbah B3 yang dimiliki sejumlah industri, kata dia, saat ini juga makin modern sehingga limbah yang dihasilkan bisa dikelola sebagai produk yang bisa memberi manfaat bagi berbagai kebutuhan. Misalnya, limbah B3 apabila dikelola oleh pabrik semen dan pabrik minyak sawit ternyata bisa memberi manfaat lain.

Reportase : ANTARA

Veneta System mengelola limbah B3 (khususnya cartridge bekas tinta printer) menjadi barang yang lebih bermanfaat. Dengan tata kelola yang baik, Veneta System telah mendapatkan sertifikasi ISO 14001:2004 dan ISO 9001:2008